StreamKullu Man Alaiha Fan (Islamic ringtone for mobile) by qazeeassad on desktop and mobile. Play over 265 million tracks for free on SoundCloud.
MAN KUNTU MAULÂHU FA ALIYYUN MAULÂHUPoin berikutnya dari wasiat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di Ghadir Khum yang harus kita jaga dan kita laksanakan adalah mencintai sayyidina Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu. Kecintaan kita kepada Ali terkait erat dengan kecintaan kita kepada Nabi Shallallahu alaihi wa tentang wasiat ketiga ini, terjadi perbincangan di kalangan para peneliti hadits mengenai keshahihan riwayatnya. Para ulama hadits sepakat akan keshahihan hadits tentang khutbah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di bawah pohon dengan redaksi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya dari Zaid bin Arqam sebagaimana diuraikan sebelumnya. Adapun tambahan ucapan dan pembelaan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam secara khusus kepada Ali,مَن كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ“Barangsiapa menjadikan aku sebagai walinya, maka jadikan Ali juga sebagai walinya.”maka ulama hadits berbeda pendapat. Adz-Dzahabi, Ibnu Katsir, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Albani dan lainnya menshahihkan riwayat tersebut. Ibnu Hazm, Az-Zaila’i, Ibnu Taimiyyah dan lainnya berpendapat mendhaifkannya. Penulis dalam hal ini lebih condong mengikuti pendapat ulama yang perbincangan mengenai keshahihan riwayat, ada hal lain terkait poin wasiat ini yang ternyata menjadi perselisihan dalam hal pemahaman dan pemaknaan terhadap kata maulâ مَوْلَى di hadits kelompok Syi’ah Rafidhah, mereka memahami ucapan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tentang Ali di Ghadir Khum, مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ sebagai pengukuhan dan penunjukkan Ali menjadi khalifah sepeninggal Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Mereka berpendapat bahwa arti kata maulâ مَوْلَى adalah pemimpin dan khalifah. Ini berarti Ali adalah khalifah setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sentralnya peristiwa itu bagi paradigma kaum Syi’ah, dan begitu penting bagi keyakinan mereka, sehingga kaum Syi’ah menyelenggarakan perayaan bernama Ied Al-Ghadir pada setiap pemahaman kaum Syi’ah ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah kendatipun beliau melemahkan riwayat tambahan mengenai ucapan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di atas, beliau berkata seandainya hadits itu shahih maka maknanya sama sekali bukan pengukuhan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu sebagai khalifah sepeninggal Nabi Shallallahu alaihi wa meluruskan kesalahan pemahaman kaum Syi’ah tersebut sebagai berikut, “Redaksi dalam hadits di atas tidak menunjukkan pengukuhan khalifah sepeninggal beliau, untuk masalah besar seperti ini harus disampaikan dengan bahasa yang sejelas-jelasnya.[1] Redaksi hadits tersebut sama sekali tidak menunjukkan dengan tegas bahwa yang dimaksud dengan maulâ مَوْلَى adalah bermakna khalifah pemimpin. Maulâ dalam hadits ini bermakna wali وَلِيٌّ/penolong sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَﱡ”Sesungguhnya penolong kalian orang-orang yang beriman hanyalah Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman, mereka yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk kepada Allah.” Surat Al-Maidah 55إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا ۖ وَإِنْ تَظَاهَرَا عَلَيْهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلَاهُ وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَالْمَلَائِكَةُ بَعْدَ ذَٰلِكَ ظَهِيرٌ“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sungguh, hati kamu berdua telah condong untuk menerima kebenaran, dan jika kamu berdua saling membantu menyusahkan Nabi, maka sungguh, Allah menjadi pelindungnya dan juga Jibril dan orang-orang mukmin yang baik, dan selain itu, malaikat-malaikat adalah penolongnya.” Surat At-Tahrim 4Allah menjelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah wali orang-orang beriman dan mereka adalah mawâli beliau mereka loyal dan membela Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Allah juga menjelaskan bahwa Allah adalah wali orang-orang beriman, dan mereka adalah wali-wali Allah, dan sesama orang-orang yang beriman juga menjadi wali bagi sebagian yang lain. Loyalitas lawan dari memusuhi, loyalitas akan menjadi kokoh jika dilakukan dari kedua belah pihak. Allah sebagai penolong memiliki kedudukan yang Agung, pertolonganNya merupakan kebaikan dan karunia. Adapun makhluk sebagai penolong agama Allah, merupakan bentuk ketaatan dan ibadah kepadaNya. Sebagaimana Allah mencintai orang-orang beriman, begitu pula orang-orang beriman mencintai wali orang-orang beriman dan juga menjadi maulâ mereka yakni tempat orang beriman meminta pertolongan, Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sebagai wali dan maulâ orang-orang beriman, dan Ali menjadi maulâ orang-orang beriman berkenaan dengan kecintaan dan loyalitas yang merupakan lawan dari beriman mereka loyal kepada Allah dan RasulNya, loyalitas yang merupakan lawan dari permusuhan. Hukum ini merupakan keniscayaan bagi setiap orang yang beriman. Ali Radhiyallahu anhu merupakan bagian dari orang-orang beriman yang loyal kepada mereka dan mereka pun loyal kepada Ali Radhiyallahu jelas sekali perbedaan antara wali atau maulâ penolong dengan wâli وَالٍ /pemimpin. Wali atau maulâ itu pembahasan tentang walâyah وَلَايَةُ/loyalitas yang merupakan lawan dari permusuhan, adapun wâli pemimpin merupakan pembahasan tentang wilâyah وِلَايَةُ/kepemimpinan.Jadi hadits مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُmaka pengertiannya adalah sebagai penolong bukan pemimpin, karena teksnya dengan maulâhu penolongnya bukan wâlihi pemimpinnya.”[2]Ketidaktepatan dalam mengartikan maulâ dengan “pemimpin” juga dapat dilihat dari lawan kata maulâ pada kelanjutan hadis tersebut. Mari kita perhatikan kembali redaksi lengkapnya beserta kesesuaian artinyaاللَّهُمّ مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ اللَّهُمَّ وَالِ مَنْ وَالَاهُ وَعَادِمَنْ عَادَاهُ“Ya Allah, siapa yang telah menjadikanku walinya maka Ali juga menjadi walinya. Ya Allah, tolonglah orang yang menolong Ali dan musuhilah orang yang memusuhi Ali.” Maka tampak jelas bahwa arti yang dikehendaki dari kata maulâ sebagai “pemimpin” sangat tidak tepat sasaran, sebab kelanjutan hadis tersebut justru menyatakan “musuhilah orang yang memusuhi Ali.” Jika demikian, maka arti yang tepat untuk kata maulâ dalam hadis tersebut, baik secara teks maupun konteks, adalah “penolong”, sebab kebalikan dari penolong adalah kaum Syiah sejatinya juga bertentangan dengan banyak pengakuan para tokoh Ahlu Bait. Buktinya, ketika Al-Hasan bin Al-Hasan cucu dari Ali Radhiyallahu anhu ditanya mengenai hadits ini, apakah merupakan nash bagi kekhilafahan Ali atau bukan? Beliau menjawab, “Tidak! Jika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menghendaki menunjuk Ali sebagai pemimpin atau khalifah dengan hadis ini, tentu beliau akan bersabda, Wahai sekalian manusia, ini adalah penguasa urusanku, dan pemimpin bagi kalian setelahku. Maka tunduk dan patuhlah terhadap segala perintahnya’.”Dalam kesempatan lain beliau menjawab, “Demi Allah! Jika Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menghendaki bahwa yang dimaksud adalah pemimpin atau khalifah, tentu beliau akan mengungkapkannya dengan tegas dan jelas, sebagaimana penjelasan beliau mengenai shalat dan zakat.’”[3]Sayyid Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah berkata “Adapun hadits tersebut, kami jadikan sebagai petunjuk jalan, kami loyal kepada Ali Al-Murtadha Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, kami loyal kepada orang yang loyal kepada beliau, dan kami memusuhi orang yang memusuhi beliau. Ini semua kami lakukan sebagai bentuk loyalitas kami kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallamdan keluarganya. Kami beriman bahwa keluarga Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak mungkin bersepakat untuk menyelisihi Al-Quran. Sesungguhnya Al-Quran dan keluarga beliau merupakan wasiat Nabi Shallallahu alaihi wa sallamsebagaimana hadits shahih di Ghadir dan selain Ghadir. Apabila keluarga Nabi Shallallahu alaihi wa sallambersepakat atas suatu perkara maka kami terima dan kami ikuti, dan jika mereka berselisih dalam satu perkara maka kami kembalikan kepada Allah dan RasulNya.”[4]Maksudnya bahwa kesepakatan keluarga Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak mungkin bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Jika keluarga Nabi Shallallahu alaihi wa sallamtidak sepakat dalam satu masalah maka kita kembalikan kepada Al-Quran dan As-Sunnah.[Disalin dari Buku WASIAT NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DI GHADIR KHUM, Penulis Fariq Gasim Anuz] ______ Footnote [1] Artinya jika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam akan memberi wasiat dan menunjuk pengganti beliau sebagai pemimpin kaum muslimin tentu akan disampaikan dengan bahasa yang sangat jelas. Wasiat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di Ghadir Khum disampaikan dengan bahasa yang jelas dan sangat dipahami oleh para Sahabat bahwa isinya tidak ada pengukuhan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu sebagai Imam sepeninggal Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. [2] Mukhtashar Minhâjus Sunnah, halaman 432-433. [3] Al-I’tiqâd wal Hidâyah, halaman 355-356. [4] Tafsir Al-Manâr 6/386. unitno. 1, level 29 naza tower platinum park no. 10, persiaran klcc 50088 kuala lumpur malaysia Dalam penafsiran ayat 26 surah al-Rahman “kullu man alaiha fan” darimana dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan “man alaiha” adalah manusia dan jin. Atau bagaimana kita ketahui bahwa jin-jin itu hidup di muka bumi? Atau seluruh manusia lainnya tidak hidup di planet lain? Di tempat lain disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “fan” bukanlah kebinasaan mutlak, melainkan sejenis perubahan dan pergantian di alam. Dengan perantara indikasi apa makna ini dipahami demikian? 1. Terjemahan ayat 26-27 surah al-Rahman 55 adalah “Semua yang ada pemilik akal dan intelegen di bumi itu akan binasa. Dan hanya Dzat Tuhan-mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.” 2. Dari keseluruhan ayat surah al-Rahman dan sebagian riwayat adalah jelas bahwa Allah Swt adalah Maharahman dan Maharahim, berada pada tataran menghitung segala nikmat yang Dia anugerahkan kepada para pemilik akal dan intelegen. 3. Redaksi “tsaqalan” pada ayat 31 surah al-Rahman dan penggunaan lafaz “man” sebagai ganti “ma” pada ayat 26 dalam surah yang sama, di samping ayat-ayat lainnya khususnya ayat “fabiayyi alaai rabbikuma tukadziban” dan ayat-ayat 14, 15, 33 dan 34 dan sebagainya adalah penentu maksud dan lawan bicara ayat-ayat ini, khususnya ayat “kullu man alaihi…”; karena dalam al-Qur’an tsaqalan bermakna manusia dan jin. Dan “man” digunakan untuk pemilik akal dan pikiran. 4. Terdapat sebuah riwayat yang dinukil dari Jabir bin Abdillah dari Rasulullah Saw yang menegaskan secara eksplisit bahwa yang menjadi obyek bicara di sini adalah manusia dan jin. Rasulullah Saw bersabda kepada umat Tatkala kalian membaca ayat “fabi ayyi ala Rabbikuma tukadziban,” maka para jin lebih baik menjawabnya ketimbang kalian. 5. Khususnya terkait dengan kehidupan jin di muka bumi terdapat banyak bukti dan dalil atas hal ini; seperti pelbagai penyaksian dan hubungan langsung sebagian orang, penaklukan dan penggunaan jin di bumi oleh Nabi Sulaiman As dan sebagainya. Demikian juga banyak riwayat yang menyebutkan ihwal tempat tinggal mereka pada daerah atau tempat-tempat yang kurang penduduk manusia, pendeknya jin dan manusia merupakan makhluk bumi. Namun terkait dengan ayat yang menjadi obyek pembahasan, menunjukkan tentang ada-tiadanya pembatasan kehidupan manusia dan jin di muka bumi atau eksisten-eksisten lainnya pada planet atau langit-langit memerlukan pembahasan yang berbeda. 6. Terdapat banyak pendapat yang dilontarkan dalam menafsirkan maksud ayat ini dimana dengan membeberkan sebagian dari penafsiran itu sangat bermanfaat untuk menjawab pertanyaan ini. 7. Musnah dan binasanya secara mutlak seluruh eksisten di alam kontingen imkan, atau kematian alam materi dan benda, atau terputusnya atau tuntasnya kehidupan dunia dan terhapusnya efek dan hukum-hukum dunia, atau binasanya secara esensial seluruh eksisten adalah pandangan-pandangan yang telah mengemuka dalam masalah ini. Kendati sesuai dengan dalil-dalil rasional aqli dan referensial naqli, kematian dan kebinasaan mutlak seluruh eksisten, khususnya eksisten-eksisten non-material, merupakan sebuah perkara mustahil terjadi kebinasaan pada mereka. 8. Arti dan makna fana binasa, berubah, hancur, punah, menyusut, lebur, dan berubahnya bentuk dan tidak lagi dapat dimanfaatkan dan sebagainya serta dengan merujuk pada ayat-ayat dan riwayat-riwayat, syuhud irfani, argumen-argumen rasional, semuanya merupakan dalil dan petunjuk terhadap perubahan, pembaruan tajaddud dan non-materialisasi tajarrud, proses menjadi baru dan sebagainya dimana setiap detik terjadi kebinasaan dan produksi, tercipta sebuah gerakan dan kemajuan, awal dan akhir, terbit dan tenggelam dan sebagainya. 9. Fana dan binasanya segala sesuatu dan punahnya alam kontingen tidak akan terjadi kecuali dengan wujud, emanasi, kebaikan Dzat Nir-Batas, dan pengejewantahan nama “mufni, mumit, munsyi, muhyi”. 10. Ayat-ayat “yas’alu man fissamawat…kullu yaumin huwa fii sya’n” yang termaktub pada surah al-Rahman 55, dan ayat-ayat lainnya seperti “bal hum fii lubsin min khalqin jadid” dan “tara al-jabal tahsibuha jamidatun wa hiya tamarmar al-sahab..dan lain sebagainya merupakan bukti-bukti dan penyokong kesimpulan yang disebutkan dalam pertanyaan. Dalam menjawab pertanyaan ini, pertama-tama kita harus membahas terjemahan ayat-ayat 25 dan 26 surah al-Rahman dan kemudian kita akan membagi jawaban menjadi tiga bagian Bagian pertama, dalam bagian ini akan disodorkan bukti-bukti dan dalil-dalil yang menjelaskan arti dan maksud ayat “man alaiha”, dan juga matlab-matlab terkait kehidupan jin di muka bumi. Bagian kedua, pada bagian ini akan dijelaskan makna leksikal fana dan sebagian penafsiran dan pandangan terkait dengan ayat 26 surah al-Rahman. Bagian ketiga, pada bagian ini, akan dikemukakan pelbagai indikasi dan bukti yang berkaitan dengan tafsir dan kesimpulan dari pertanyaan yang tersebut pembuktian adanya pembaruan dan pergantian alam. Allah Swt pada ayat 25-26 surah al-Rahman berfirman “Kullu man alaiah fan, wa yabqi wajhu rabbika dzuljalalil wal ikram” Semua yang ada [pemilik akal dan intelegen yang menghuni bumi] itu akan binasa. Dan hanya wajah Tuhan-mu yang mempunyai kebesaran jalal dan kemuliaan jamal tetap kekal.” [1] Artinya setiap mahkluk yang memiliki akal dan intelegensia yang terdapat di bumi akan binasa, sirna, hancur dan sebagainya. Meski dalam ayat ini secara eksplisit tidak menyebutkan redaksi bumi. Namun dari konteks ayat-ayat sebelumnya dapat disimpulkan bahwa kata ganti pada “alaiha” kembali ke bumi dan hal ini sejalan dengan keseluruhan ayat-ayat yang berada pada tataran penjelasan dan menghitung segala nikmat Tuhan yang dianugerahkan kepada pemilik akal dan intelegensia.[2] Bagian pertama maksud ayat “man alaiha” Terdapat pandangan yang beragam dari para mufassir Qur’an terkait dengan pembahasan bahwa siapa yang hidup di bumi dan siapakah orang-orang yang memiliki akal dan intelegensia. Namun dari keseluruhan ayat-ayat surah al-Rahman khususnya ayat “fabiayyi alai rabbikuma tukadziban” Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kamu dustakan, [wahai bangsa jin dan manusia]? dan ayat-ayat 14 dan 15 yang menyatakan “Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar, dan Dia menciptakan jin dari nyala api.” Dan juga pada ayat 31 “Kami akan segera memperhitungkan kamu semua, hai manusia dan jin.” Dimana dalam ayat ini disebutkan redaksi tsaqalan dua kelompok yang beratyang dalam bahasa al-Qur’an, tsaqalan itu dilekatkan pada manusia dan jin.[3] Dan demikian seterusnya ayat-ayat 33, 35 dan sebagainya dengan jelas dapat disimpulkan bahwa Tuhan yang Mahapemurah dan Pengasih, bercengkerama dengan manusia dan jin dan berada pada tataran mengingatkan segala nikmat yang dianugerahkan kepada mereka. Atas alasan ini, Dia berfirman “Kullu man alaihah” tidak dengan redaksi “Kullu maa alaihah” karena nomina “man” merupakan penjelas pemilik akal dan intelgensia dan redaksi “maa” tidak dapat memikul pesan berat ini. Di samping itu, sebuah riwayat yang dinukil oleh Jabir bin Abdillah dari Rasululllah Saw ihwal surah al-Rahman, menegaskan bahwa obyek bicara surah al-Rahman, khususnya ayat “fabi ayyi alai Rabbikum tukadziban” adalah manusia dan jin.[4] Dengan demikian, mayoritas mufassir menegaskan bahwa maksud “man alaiha” pada ayat terkait adalah manusia dan jin.[5] Adapun berdasarkan atas dalil dan bukti apa jin hidup di muka bumi, terdapat banyak ucapan dan dasar, namun sebagai contoh beberapa di antaranya akan kami sebutkan di sini 1. Penyaksian dan hubungan langsung banyak orang dengan jin. 2. Penaklukan jin oleh Nabi Sulaiman “Dan bala tentara Sulaiman yang berasal dari bangsa jin, manusia, dan burung berkumpul di hadapannya; alangkah banyaknya sehingga mereka harus menunggu supaya seluruh tentara itu terhimpun.” Qs. Naml [27]17, atau persembahan tahta Balqis ke hadapan Nabi Sulaiman “Sulaiman berkata, “Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri?” . Ifrit dari golongan jin berkata, “Aku akan mendatangkan singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya.”Qs. Naml [28]38-39, bekerjanya sebagian jin di hadapannya, “Dan sebagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya di bawah kekuasaannya dengan izin Tuhan-nya.” Saba [34]12, dan setan berasal dari golongan jin.[6] Mendengarkan firman Ilahi “Katakanlah hai Muhammad, “Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya sekumpulan jin telah mendengarkan Al-Qur’an, lalu mereka berkata, Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al-Qur’an yang menakjubkan.” Qs. Al-Jin [72]1; “Dan ingatlah ketika Kami kirimkan serombongan jin kepadamu untuk mendengarkan Al-Qur’an. Tatkala mereka telah hadir semua, mereka berkata, “Diamlah kamu untuk mendengarkannya.” Ketika pembacaan telah selesai, mereka kembali kepada kaum mereka untuk memberi peringatan. Mereka berkata, “Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab Al-Qur’an telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.” Qs. Al-Ahqaf [46]29-30 3. Adanya banyak riwayat dan jelas yang menetapkan bahwa kehidupan jin di muka bumi, pada wilayah yang kurang komunitas manusia dan jin dalam riwayat tersebut dipandang sebagai penduduk bumi. Di antaranya riwayat yang panjang yang dinukil dari Imam Baqir As dari Amirulmukminin As terkait makhluk-makhluk yang hidup di bumi sebelum Nabi Adam As,[7] yang secara tegas memandang bahwa jin dan nisnas sebangsa kera merupakan penduduk bumi.[8] Dan riwayat-riwayat yang lain yang secara tegas dan jelas menyatakan bahwa tempat tinggal jin pada wilayah khusus dimana kami disini tidak akan menyebutkan riwayat-riwayat tersebut. Karena itu kami mempersilahkan bagi Anda yang tertarik untuk merujuk kepada kitab-kitab terkait masalah jin.[9] Kiranya perlu disebutkan di sini bahwa tidak terdapat ayat yang menafikan atau menetapkan tentang adanya kehidupan manusia atau maujud-maujud lainnya di planet lain;[10] Kendati kebinasaan dan kehancuran, akan dialami oleh seluruh eksisten dan maujud di alam kontingen dunia. Bagian kedua Makna ayat “Fana” secara leksikal disebutkan dalam beragam makna, di antaranya sirna, tiada, punah, hancur, tuntas, terputus, akhir, kematian, lebur, berlalu, berubah, berada dalam bentuk yang lain, keluarnya sesuatu dari sifatnya yang tidak dapat lagi digunakan dan sebagainya.[11] Dalam kitab-kitab tafsir disebutkan penafsiran yang beragam terkait dengan maksud ayat “kulla man alaihi fan” dimana untuk membahas dan mengkritisi beberapa pandangan tersebut memerlukan waktu dan ruang yang lain. Namun untuk menjawab bagian terakhir dari pertanyaan yang diajukan kami akan menyampaikan beberapa dari penafsiran tersebut. A. Ayat yang menyampaikan tentang punah dan binasanya secara mutlak seluruh eksisten yang hidup atau yang mati khususnya manusia dan jin, baik yang berada di muka bumi atau yang berada di planet lain demikian juga di tujuh petala langit. Dimana hal ini tidak menunjukkan adanya pembatasan kehidupan di planet bumi. Terdapat banyak bukti Qur’ani dan riwayat terkait masalah ini. Seperti ayat-ayat, ““Setiap jiwa akan merasakan kematian.”[12] “Dia-lah Yang Maha Awal dan Yang Maha Akhir”,[13] “Segala sesuatu di muka bumi kini dan akan datang akan binasa,”[14] “Dan Dia-lah yang memulai penciptaan, kemudian mengembalikannya,”[15] “Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengembalikannya.”[16] Dan riwayat-riwayat seperti Dinukil dari Ali As “Sesungguhnya beliau ditanya tentang mayit yang rusak jasadnya? Beliau bersabda Iya, sehingga tidak tersisa daging dan tulang kecuali lempung yang darinya ia diciptakan. Sesungguhnya lempung ini tidak akan rusak melainkan tetap dalam liang kubur.” Marhum Thabarsi dalam Ihtijâjâj meriwayatkan sebuah pertanyaan yang diajukan oleh seorang zindik kepada Imam Shadiq “Imam dalam menjawab pertanyaan Zindiq yang bertanya Apakah ruh setelah keluarnya dari jasad akan binasa atau akan kekal, beliau bersabda “Melainkan ruh akan tetap kekal hingga hari di tiupnya sangkakala kiamat setelah itu akan batil dan binasa.”[17] Imam Ali As bersabda “Dia akan menghancurkan bumi setelah keberadaannya sehingga semua yang berada di atasnya akan menjadi tak-ada. Tetapi lenyapnya dunia setelah penciptaannya tidaklah lebih aneh dari pembentukan dan pengadaannya yang pertama.”[18], B. Yang dimaksud fana pada ayat terkait dan kebinasaan pada ayat 88 surah Qashash yang menyebutkan “Segala sesuatunya binasa kecuali wajah Tuhan.” Kematian badan dan keluar dari kegunaannya.[19] Kendati ayat-ayat ini tidak termasuk ruh-ruh dan wujud-wujud non-material, kalau pun termasuk, maka mereka tidak termasuk dalam hukum ini fana dan mati; karena terdapat dalil-dalil rasional dan referensial yang menjelaskan tentang kekalnya ruh-ruh dan segala sesuatu di sisi Tuhan.[20] Di samping itu, “maujud” eksisten, ada sekali-kali tidak akan pernah “ma’dum” non-eksisten, tiada yang telah ditetapkan oleh argumen-argumen filosofis. C. Ayat yang menjelaskan terputus, tuntasnya kehidupan dunia dan terangkatnya efek dan hukum dimana dengan fana dan binasanya penghuninya pemilik intelegensia adalah akibat dari kefanaan ini. Demikian juga, tenggelamnya mentari duniawi dan terbitnya fajar ukhrawi dan berpindahnya dunia menuju akhirat. Redaksi “fana” secara lahir menandaskan hari esok, artinya akhir usia dunia dan apa yang ada di dalamnya dan akan muncul di hari esok.[21] Dengan demikian, hakikat fana ini adalah perpindahan dari dunia kepada akhirat dan kembali kepada Tuhan, sebagaimana pada kebanyakan ayat ditafsirkan demikian.[22] D. Pada ayat terkait, “fana” digunakan dalam bentuk derivatif musytaq “fanin” dan tidak bermakna sesuatu yang akan binasa di kemudian hari. Karena pasti penyebutan lafaz derivat musytaq “fanin” atas segala eksisten yang nantinya akan binasa adalah penyebutan majazi figuratif. Dan yang menjadi perbedaan dan obrolan para ilmuan ilmu Ushul, khususnya penggunaan derivat musytaq pada hal-hal yang dimasa lalu tertutupi dengan satu sifat dan permulaan dan kini sifat tersebut terlepas darinya, misalnya seseorang pada masa lalu adalah seorang dokter dan kini ia telah melupakan seluruh ilmunya dan tidak lagi mengambil manfaat dari ilmu kedokteran. Apakah orang seperti ini secara hakiki dapat disebut sebagai dokter? Namun kepada orang yang di suatu hari menjadi dokter, sudah barang tentu, penyebutan dokter kepada merupakan penyebutan figuratif dan tidak hakiki.[23] Atas alasan ini, makna hakiki ayat, akan sejalan dengan makna ayat “kullu syain halik illa wajha” Qs. Al-Qashash [28]88 Artinya adalah “segala sesuatu di muka bumi kini dan akan datang akan binasa, hancur dan sirna. Dengan kata lain, segala eksisten yang ada di bumi yang memiliki intelegensia dan akal seperti wujud kontingen mumkin al-wujud dan membutuhkan Sang Pencipta dan Sang Penganugerah wujud, secara esensial, akan binasa, sirna dan kematian serta kefanaan akan meliputi wujud mereka.[24] Kebutuhan dan kefakiran ini tidak akan pernah terlepas dari wujudnya. Dari angle ini, Mahmud Syabistari dengan mengambil inspirasi dari hadis “al-faqru sawad al-wujud fii al-darrain”[25] menggubah sebuah syair Legamnya wajah imkan manusia di dua alam Tidak akan berpisah selamanya waLllahu a’lam[26] Namun kebinasaan dan kepunahan seperti ini, tidak terkhusus pada segala eksisten dengan intelegensia bumi manusia dan jin dan segala sesuatu selain wajah Tuhan pemilik keagungan jalal dan kemuliaan jamal serta wali-wali khususnya. Sebagaimana pada banyak ayat mengabarkan tentang fana dan kebinasaan ini “Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya” Qs. Al-Qashash [28]88 Atau “Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah.” Qs. Al-Zumar [39]68 Lantaran engkau tidak fana di sisi-Ku Datanglah keutamaan harta, ilmu yang membuatmu binasa Segala sesuatunya binasa kecuali wajah-Nya Lantaran tidak ada ketiadaan pada wajah-Nya janganlah cari keberadaan Sesiapa yang berada di hadapan Kami akan fana Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya[27] Kiranya penting menyebutkan poin ini bahwa pelbagai penafsiran dan kesimpulan yang beragam lainnya dengan pendekatan yang beraneka macam tentang ayat terkait dimana di sini kami tidak akan menyebutkannya mengingat terbatasnya ruang dan waktu.[28] Bagian ketiga dalil-dalil dan bukti-bukti Dengan memperhatikan beberapa matlab sebelumnya dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan fana bukanlah fana mutlak dan ayat al-Qur’an menjelaskan ihwal awal dan akhir gerakan dan arah kesempurnaan seluruh eksistensi, khususnya manusia. Ayat di atas berada pada tataran menjelaskan kefanaan seluruh eksistensi terkait identitas partikularnya dan keluarnya serta mudiknya seluruh eksistensi kepada Tuhan. Kembalinya seluruh cabang kepada akar dan terbitnya mentari semesta keabadian dari tenggelamnya surya kefanaan menuju fajar keabadian, kenaikan derajat tingkatan alam materi menuju alam non-material. Arah dan gerakan, kelahiran dan kemekaran, terbit dan sampainya, ketersingkapan dan intensifikasi, ekspresi lahir dan penampakan, kesempurnaan, kemenanjakan dan pengejewantahan hak, tidak akan dapat terwujud kecuali dengan melenyapkan segala keterkaitan dan leburnya pelbagai batasan dan ikatan, kebutuhan kecacatan terhadap kesempurnaan, kembalinya kepada fitrah asli, terlepas serta hancur dan binasanya alam materi dan sirnanya segala sesuatu di atasnya kullu man alaiha fan[29] Menyaksikan perhatian yang rendah safil kepada yang tinggi ali, kembalinya cabang kepada akar, mudiknya bentuk kepada hakikat dan akibat kepada sebab bagi orang yang hatinya tercahayai dengan keyakinan bukan merupakan pekerjaan sulit. Mencerap perubahan dan pergantian bagian-bagian alam tidaklah pelik baginya. Mereka memahami makna “Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Qs. Al-Zumar [30]68 dengan mudah.[30] Kita dan setiap desah nafas menjadi baru di dunia Tiada berita tentang barunya pada yang abadi Usia sebagaimana pusaran air akan menjadi baru Hal ini juga berlanjut demikian pada jasad[31] Sampainya jiwa kepada tabiat dan bentuk aslinya serta perpindahan alam dunia kepada alam akhirat dan tertarik kepada Allah Swt lalu merangsek pada alam arwah, menghindar dari ruang pelbagai kegelapan, tirai-tirai jasmani, berada pada haribaan Tuhan dan memperoleh kedudukan “inddiyya” di sisi-Nya, dan terlepasnya dari tawanan, terbebasnya dari penjara dan masuknya pada dunia cahaya, adalah pergantian dan perubahan esensial gerakan substansial secara esensial dimana Allah Swt, memberikan ganjaran kepada para hamba-Nya dan meletakkan setingkat dari ganjaran tersebut juga pada institusi lainnya eksisten tabiat. Tingkat materi dan gerakan, makam huduts dan kematian, akan mengalami kepunahan dan kebinasaan, pembaruan dan penuaan, karena itu Allah Swt berfirman “Semua yang ada pemilik akal dan intelegen di bumi itu akan binasa. Dan hanya Dzat Tuhan-mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.” Wajah-Nya yang merupakan cahaya dan kesucian murni, dawam, ajeg, jalâl, jamâl dan sebagainya, tetap kekal dan tidak akan pernah binasa. Kendati rajutan hubungan dengan-Nya adalah keabadian dalam keabadian Namun awalnya adalah kefanaan dalam kefanaan[32] Atas sebab ini fana disebut sebagai “tawallud” kelahiran dan kelahiran dengan kematian dan kefanaan yang terwujudkan pada tingkatan sebelumnya. Dan apabila seseorang tidak mencicipi madu ini, maka seharusnya jiwa didedikasikan kepada ucapan para nabi dan wali Allah dan membenarkan ucapan mereka. Meski ia adalah seorang penyingkap al-Qur’an, penyaksi mentari irfan dan peneliti dengan burhan. “Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengembalikannya.” Qs. Al-Anbiya [21]104 dan “Apakah Kami telah letih dengan penciptaan yang pertama sehingga Kami sudah tidak mampu lagi untuk menciptakan hari kebangkitan? Sebenarnya mereka berada dalam keadaan ragu-ragu tentang penciptaan yang baru.” Qs. Qaf [50]15 dan “Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan seperti jalannya awan. Begitulah perbuatan Allah yang membuat tiap-tiap sesuatu dengan kokoh.” Qs. Naml [27]88 dan Tuhan merupakan tujuan seluruh gerakan dan perubahan ini terlepasnya[33] satu tingkatan untuk mendapatkan tingkatan yang lebih tinggi.[34] Aku mati dari mineral dan menjadi tumbuhan Aku mati dari tumbuhan kemudian menjadi hewan Aku mati dari hewan kemudian menjadi manusia Lalu mengapa aku takut apabila aku mati beringsut Aku berlalu sebagai manusia Membawa empat sayap dan bulu bak malaikat Setelah itu, berkoar lebih tinggi dari malaikat Mengapa engkau tidak dapat membayangkan Aku akan menjadi seperti itu Aku berkata Inna liLlahi rajiun.[35] Dengan kata lain, permulaan manusia dan bahan material asli kemanusiaannya pada pelbagai tingkatan penciptaan, berasal dari mineral kemudian tumbuhan. Apabila gerakannya ini berhenti pada tingkatan tumbuhan maka ia tidak akan mencapai kesempurnaan tumbuhan demikian juga apabila ia tidak berhenti pada tingkatan tumbuhan maka ia akan mencapai tingkatan hewan dan tidak berhenti pada tingkatan hewan maka ia akan mencapai tingkatan manusia. Pada diri manusia juga terdapat kedudukan dan makam yang tak-terbilang. Dan ketika manusia tidak berhenti pada setiap tingkatan maka ia akan memperoleh makam dan kedudukan yang lebih tinggi. Menjauh dari segala kekurangannya dan melangkah menuju puncak kesempurnaan. Dan kematian pada tingkatan kekurangan tidak akan berkurang malah semakin bertambah. Maksudnya adalah bahwa apabila setiap cela dan keterbatasan tidak sirna maka ia tidak akan sampai pada tingkat kesempurnaan. Lantaran apabila ia memiliki kelayakan untuk menerima, yaitu kelayakan lengkap, maka ia akan menjelma sebagai pemberi kesempurnaan dan pengeluar nafs dari titik potensial kepada titik aktual. Pada kepelakuan lengkap fâ’iliyyat tam, sikap bakhil dan menahan tidak lagi tersisa pada poin ini. Apapun yang ditunjukkan kepadamu di dunia ini Jika hatimu tidak berlabuh padanya segalanya menjadi milikmu Pelbagai bijian dan nutfah apabila tidak mati pada batasannya, ia tidak akan sampai pada titik aktual. Dan apabila keduanya tidak melakukan perjalanan, keduanya tidak akan matang. Banyaklah melakukan perjalanan wahai belia Hingga engkau meraup kematangan.[36] Baik perjalanan bentuknya yang merupakan kesempurnaan jasmani. Begitu pun perjalanan maknawinya yang merupakan kesempurnaan ruh. Raga tidak terlepas dari ruh karena ia bagian darinya Jiwa tidak terlepas dari raga karena keseluruhan adalah bagian darinya[37] Dengan demikian terbitnya fajar ruh-ruh non-material universal dan mentari ruh-ruh terikat pada badan-badan particular. Yang terbenam pada tepi barat alam materi dan beralih perhatiannya kepada Tuhan timur dan barat. Pelbagai entifikasi dan dunia benda dan materi akan sirna. Entifikasi harus lebih tinggi dari keberadaan Tidak tinggal pada dunia atas dan bawah Ajal laksana galaksi akan berakhir Seluruh keberadaan berujung kepada ketiadaan[38] Karena itu perhatian fitri dan naluri terhadap kesempurnaan mutlak dan perjalanan serta kenaikan seluruh eksisten ke arah sumber mabda sesuai dengan hukum “Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia berada dalam kesibukan.” Qs. Al-Rahman [55]29 dan “Yaitu jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” Qs. Syurah [42]53 yang berdasarkan sistem Rabbani, nampak terang bagi orang-orang yang mengenal ayat-ayat Ilahi dan nash-nash agama. Dan barangsiapa yang benderang hatinya dengan cahaya keyakinan maka ia akan menyaksikan perubahan dan pergantian yang terjadi di alam semesta. Sebagaimana Tuhan setelah menjelaskan kefanaan segala sesuatu pada surah al-Rahman Kullu man alaiha fan dan seterusnya lalu berfirman “Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia berada dalam kesibukan.”[39] Karena kefanaan dan kebinasaan segala sesuatu dan kefakiran seluruh eksisten serta kehancuran alam kontingen imkan, tidak dapat terrealisir kecuali dengan Wujud, emanasi dan kebaikan ihsan Tuhan yang memiliki segala kebesaran dan karunia. Pada setiap hitungan detik, lahir dan mengejewantah nama “al-Mufni al-Mumit” Pembinasa yang mematikan dan “al-Munsyi al-Muhyi” Pengada yang menghidupkan pada dunia yang secara terus menerus pada kondisi bergerak. Seluruh semesta laksana air yang mengalir dan bergerak dalam aliran. Dan gambaran mentari pada air yang tetap mengalir ini laksana wajah Tuhan wa yabqa wajha rabbuk. Pada setiap detik substansi dan esensi segala sesuatu mengalami pembaruan renewal dan transmutasi tabaddul. Dengan bahasa tubuh, lisan, potensi, dengan tangan membutuhkan dan mata yang penuh harap bergerak ke arah Pemilik Kemurahan dan Cinta. Menyampaikan hajat pada seluruh dimensi kepada-Nya. Dan melabuhkan harapan kepada Kekayaan dan Kemurahan-nya. “Hai manusia, kamulah yang memerlukan faqir kepada Allah; dan hanya Allah-lah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” Qs. Fatir [35]15[40] Dialah yang ada pada setiap detik, pada setiap penciptaan baru Dia berada dalam kesibukan kullu yaum huwa fi sya’n meski Dia tidak disibukkan oleh kesibukan. Penciptaan semesta keberadaan tidak hanya terjadi permulaan penciptaan dunia, melainkan setiap detik penciptaan dan permulaan. Karena itu, sebagian ulama besar Islam dan Syiah dengan mengambil inspirasi dari “kullu man alaiha fan…yasalunakan man fissamawati wa al-ardh kullu yaumi huwa fii sya’n dan melalui media syuhud penyingkapan Irfan dan dengan mengikuti burhan menyimpulkan demikian dan menetapkan gerakan dan transmutasi tabaddul substansi dan esensi segala sesuatu. Kendati pada wilayah ini banyak yang harus disampaikan namun ruang dan waktu tidak tersedia. Rumi, seorang arif besar, menggubah gerakan para wali Tuhan “ke arah yang tak berarah” dalam sebuah syair yang indah sebagai berikut Sesiapa yang melangkah ke arah yang tak-berarah Para budiman itu menoleh ke arah yang tak-berarah Setiap merpati yang melesak pada mazhab Merpati ini berpihak pada yang tak-berpihak Kita bukan unggas udara juga bukan piaraan Bijian kita adalah biji tanpa biji Sedemikian luas kehidupan akhirat kita Sehingga terkoyak kain jasad pada pundak dunia kita[41] [1]. Allamah Thabathabai, Tafsir al-Mizân, jil. 19, hal. 100; Murtadha Muthahhari, Âsynâi ba Qur’ân, tafsir surah al-Rahman, hal. 80; Abdullah Jawadi Amuli, Tafsir Maudhu’i Qur’ân Karim, Ma’âd dar Qur’ân, , jil. 4, hal. 193. Abdullah Jawadi Amuli, Tahrir Tamhid al-Qawâid, hal. 778; Maula Nazharali Thaliqani, Kâsyif al-Asrâr, jil. 1, hal. 335; Terjemahan al-Qur’an terjemahan Muhammad Mahdi Fuladun, Tafsir Nemune.. [2]. Allamah Thabathai, Op Cit, jil. 19, hal. 100; Thabarsi, Majmâ’ al-Bayan, jil. 9, hal. 305; Faidh Kasyani, Tafsir Shâfi, jil. 2, hal. 641; Tafsir Qummi; Tafsir Nemune.. [3]. Murtadha Muthahhari, Op Cit, hal. 4. [4]. Allamah Thabathabai, Op Cit, jil. 19, hal. 103; Faidh Kasyani, Tafsir Shâfi, jil. 2, hal. 640; Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 18, hal. 78; jil. 63 hal. 117. [5]. Lihat, Tafsir al-Mizân, Shâfi, Majmâ’ al-Bayan, Nemune. [6]. Lihat, Indeks Setan, malaikat atau jin. Kemampuan setan dan jin [7]. Bihâr al-Anwâr, jil. 57, hal 324. [8]. Namun sebagian riwayat yang lain menjelaskan bahwa tempat kediaman setan itu di udara bukan di langit atau bumi, silahkan lihat, Mulla Shadra, Mafâtih al-Ghaib, jil. 1, hal. 264-265. [9]. Bihâr al-Anwâr, jil. 18, hal. 76-81, 87, 91-93; Jil. 39, hal. 169, 175, 176 [10]. Namun terkait apakah jin merupakan eksisten material atau non-material non-material barzakhi dan mitsali dimana apabila ia non-material maka ia tidak akan mendiami sebuah tempat, kendati ia menjelma dalam pelbagai bentuk dan rupa, memerlukan kajian terpisah. Mengingat pertanyaan penanya yang budiman tidak menyoroti masalah ini, karena itu kami menghindar untuk membahas masalah ini. Demikian juga pembahasan terkait dengan perginya setan ke langit, menyentuh langit, mencuri pendengaran dan lain sebagainya, pada kesempatan ini tidak menjadi obyek pembahasan kita. Kami persilahkan Anda lihat, Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Ma’ârif Qur’ân, jil. 1-3, hal. 308-312. [11]. Silahkan lihat, kitab-kitab kamus bahasa Maqaiis al-Lugha, Lisan al-Arab, al-Munjid, Qamus Qur’an, Farhang-e Jami’ Nawin dan sebagainya kitab-kitab tafsir. [12]. Qs. Ali Imran [2]185; Qs. Al-Anbiya 2135; Qs. Al-Ankabut 2957. [13]. Qs. Al-Hadid 574 [14]. Qs. Al-Qishash 2888 [15]. Qs. Al-Rum 3027 [16]. Qs. Al-Anbiya 21104 [17]. Abdullah Syubbar, Haq al-Yaqin, hal. 98-99; Allamah Majlisi, Haq al-Yaqin, hal. 418-419. [18]. Nahj al-Balâgha, khutbah 186 [19]. Sayid Abdullah Syubbar, Haq al-Yaqin, hal. 98. [20]. Qs. Dukhkhan [44]93; Qs. Ali Imran [3]169, 170 & 185; Qs. Al-Nahl [16]96; Asfar, jil. 8, hal. 380 dan seterusnya; Asfar, jil. 9, hal. 237 dan seterusnya & 279; Mafatih al-Ghaib, jil. 2, hal. 623-640; Ma’arif Qur’an, jil. 1-3, hal. 445. [21]. Al-Mizan, jil. 19, hal. 101; Asfar, jil. 9, hal. 266, 279, dan 282. [22]. Terjemahan Persia Al-Mizan, jil. 19, hal. 168. [23]. Abdullah Jawadi Amuli, Tafsir Mau’dhui Qur’an Karim, jil. 4, hal. 194. [24]. Al-Mizân, jil. 19, hal. 90-91; Abdullah Jawadi Amuli, Tafsir Mau’dhui Qur’an Karim, Ma’ad dar Qur’an, jil. 4, hal. 194; Hadi Sabzawari, Syarh al-Asma, hal. 207, 254, 720. [25]. Faqr bermakna legamnya wajah di dua alam dunia dan akhirat. Silahkah lihat, Asfar, jil. 1, hal. 69; Syarh al-Asma, hal. 207. [26]. Mahmud Syabistari, Gulsyan-e Râz, bait 126. [27]. Rumi, Matsnawi Ma’nawi, daftar-e awwal; Pembahasan ihwal ayat “Kulli syain Halik illa wajha” di luar pembahasan kita kali ini dan akan dibahas pada kesempatan mendatang. [28]. Silahkah lihat, Mulla Hadi Sabzawari, Syarh al-Asma, hal. 720, 364, 296, 253, 241; Abdurazaq Kasyani, Syarh Manazil al-Sairin, hal. 410, 574, 580; Allamah Thabathabai, al-Risâlah al-Tauhidiyah, hal. 129; Abdullah Jawadi Amuli, Tahrir Tamhid al-Qawaid, hal. 374, 770, 778; Izzuddin Mahmud Kasyani, Misbah al-Hidâyah wa Miftah al-Kifâyah, hal. 426; Khaja Nasiruddin Thusi, Ausaf al-Asyraf, hal. 99; Abdullah Jawadi Amuli, Marâhil Akhlâq, hal. 401-412; Mulla Shadra, jil. 9, hal. 266,277, 279 dan 280; Muqaddimah Qaishari bar Fushus al-Hikam, fushul 9 dan 15. [29]. Mulla Shadra, Asfar, jil. 9, hal. 266-281. Muqaddimah Qaishari bar Fushus al-Hikam, fushul 9 dan 11. [30]. Mullah Shadra, Syawâhid al-Rububiyah, jil. 1, hal. 298-299. [31]. Rumi, Matsnawi Ma’nawi. [32]. Ibid. [33]. Kendati redaksi terlepasnya di sini bukan merupakan redaksi yang tepat dan benar. Karena, sesuai dengan gerakan substansial harakat al-jauhari, tiada satu pun eksisten yang akan kehilangan sesuatu dan memiliki seluruh kesempurnaan tingkatan sebelumnya. [34]. Mulla Shadra, Asfar, jil. 3, hal. 110 dan seterusnya; jil. 9, hal. 266, 279, 280; Mulla Shadra, Mafâtih al-Ghaib, jil. 2, hal. 713; Mulla Shadra, Syawâhid al-Rububiyah, jil. 1, hal. 298-299. [35]. Rumi, Matsnawi Ma’nawi. [36]. Sa’di Syirazi, Gulistan.& sp; [37]. Hasan Zadeh Amuli, Ma’rifat Nafs, jil. 2, hal. 319-320. [38]. Rumi, Matsnawi Ma’nawi. [39]. Mulla Hadi Sabzawari, Syarh Asma, hal. 260-261; Mulla Shadra, Asfar, jil. 3, hal. 108-113. [40].; Allamah Thabathabai, al-Mizân, jil. 19, hal. 102. [41]. Rumi, Matsnawi Ma’nawi, Daftar-e Panjum, bait-bait 350-353 KISAHHIKMAH 1 DOA MUSTAJAB wanita-jelata Ainul mardiyah panglima-romawi sepotong-roti penduduk-syurga saat-ini tak-jadi-mencuri kisah-seorang-wanita doa-orang-yang-takwa meninggalkan-yang-haram berkah-sebuah-ketakwaan memberi-satu-dirham kisah-raja kisah-3-pemuda janji-bertemu-di-surga meninggalkan-belajar-sihir said-bin-jubair-&-al-hajjaj Surat ar Rahman ayat 26 dan 27 berserta artinya sebagaimana dalam terjemah Kemenag RI ini berbunyi kullu man alaiha faan artinya Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Sementara ar Rahman Ayat 27 bacaannya Wa yabqaa wajhu rabbikka dzul jalaali wak ikraam’ yang artinya Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan ar Rahman ini termasuk golongan Madaniyah, artinya turun di Kota Madinah. Jumlah ayatnya sebanyak 78 ayat. Dalam surat ini banyak pengulangan, khususnya ayat fabiayyi ala’i rabbikumaa tukaddzibaan’. Artinya Maka, nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan wahai jin dan manusia?Pada artikel ini selain membahas Surat ar Rahman ayat 26 dan 27 berserta artinya, juga akan Kami sajikan kandungan dan hikmah yang dapat kita ambil sebagai pengingat untuk perbaikan kehidupan agar kita tergolong sebagai Ibadurrahman artinya manusia yang mendapatkan kebahagiaan Surat ar Rahman Ayat 26 dan 27 dan ArtinyaKandungan Surat Ar Rahman Ayat 26 dan 27Hikmah Surat Ar Rahman Ayat 26 dan 27KesimpulanBacaan Surat ar Rahman Ayat 26 dan 27 dan ArtinyaBerikut bacaan Quran ar Rahman ayat ke-27 tulisan latin dan artinyaKullu man laihaa faan. Berikut arti dari Qs. ar Rahman ayat 29 per kataKullu man, كُلُّ مَنْ artinya Setiap mahlukAlaiha, عَلَيْهَا artinya di atas bumiFaan, فَانٍ artinya Hancur/binasaSurat ar Rahman Ayat 27 beserta Artinya. Qs. Arrahman ayat ke-27 tulisan latin dan artinyaArti Qs Arrahman ayat 27 per kata sebagai berikutWa Yabqa, وَيَبْقَىٰ artinya tetap kekalWajhu rabbika, وَجْهُ رَبِّكَ artinya Dzat TuhanmuDzul jalali, ذُو الْجَلَالِ artinya Dzat yang memiliki keagungan/kebesaranWal ikram, وَالْإِكْرَامِ artinya dan mempunyai kemuliaanJadi secara keseluruhan, Surah ar Rahman ayat 26 dan 27 beserta artinya ini bacaan dan tulisan Arab serta latinnya adalahكُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍوَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِKullu man alaihâ fân26. Wa yabqâ waj-hu rabbika dzul-jalâli wal-ikrâm27. Arti Surah Arrahman ayat 26 dan 27 adalah Semua yang ada di atasnya bumi itu akan binasa26. Akan tetapi, wajah zat Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal27.Kandungan Surat Ar Rahman Ayat 26 dan 27Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah menjelaskan berbagai macam anugerah Allah yang telah Dia berikan kepada mahluk. Anugerah ini diperuntukkan bagi kelangsungan hidup makhluk di bumi. Kemudia Allah mengingatkan dalam Surat Ar Rahman Ayat 26 dan 27, bahwa semua yang ada di muka bumi itu tidak akan kekal. Semua akan binasa. Hanya Dzat Allah lah yang hidup dan kandungan Surat Ar Rahman Ayat 26 dan 27 adalahKebinasaan seluruh mahluk tanpa terkecualiHanya Allah yang tidak akan binasa. Dia adalah dzat yang kekal, Maha Agung dan Surat Ar Rahman Ayat 26 dan 27Surat Ar Rahman Ayat 26 dan 27 dalam Al Quran, Allah menjelaskan bahwa segala sesuatu yang ada di bumi dan langit akan musnah, dan satu-satunya dzat yang kekal adalah Allah, Yang Maha Besar dan Mulia. Dialah yang tetap hidup selamanya dan tidak akan pernah karena itu, manusia tidak boleh terperdaya oleh kenikmatan dan kesenangan dunia, karena semuanya itu pada akhirnya akan rusak dan musnah. Setelah kebinasaan bumi, manusia akan dihadapkan pada hari pembalasan hari itu, manusia juga akan dimintai pertanggungjawaban atas segala nikmat yang telah diterimanya. Kenikmatan di sini artinya luas, baik yang manusia sadari atau yang tidak disadari. Allah berfirman dalam Surah Al-Qashas ayat 88, “Dan jangan menyembah tuhan lain selain Allah. Tidak ada tuhan selain Dia. Semuanya pasti binasa, kecuali Wujud-Nya. Semua keputusan ada di tangan-Nya, dan kamu semua akan kembali kepada-Nya.” Qs 28/88.Penggunaan fasilitas-fasiltas berupa kenikmatan yang diberikan oleh Allah ini semestinya bersesuaian dengan ajaran dan syariah-Nya. Secara lebih terperinci bagaimana kita bersikap dalam menjalani kehidupan di bumi telah dijelaskan dalam Al Furqan ayat 63 sampai 74. Jika demikian, maka kita akan mendapat ridhoNya dan menempati surga Na’ surat ar Rahman ayat 26 dan 27 beserta artinya. Secara singkat, Qs Ar-Rahman Ayat 26-27 ini sebagai pengingat bahwa kenikmatan, harta duniawi dan kesenangan materialistis hanya bersifat sementara yang pada akhirnya akan binasa, musnah tanpa berkas. Semua hancur dan binasa, kecuali Wajh’ Allah.Wajah’ Allah dalam Surat Ar Rahman Ayat 27 ini oleh para ahli dimaknai sebagai Dzat Allah. artinya Dia lah satu-satunya dzat yang hidup dan kekal. Dia juga yang akan memberikan pembalasan terhadap semua mahluk atas apa yang mereka perbuat semasa hidup di dunia. Semoga ada manfaat yang didapatkan. Wallahu a’lam. ArabLatin: Kullu man 'alaihā fān. Artinya: Semua yang ada di bumi itu akan binasa. « Ar-Rahman 25 Ar-Rahman 27 » GRATIS! Dapatkan pahala jariyah dan buku rahasia rezeki berlimpah, klik di sini untuk detailnya. Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 26 (Terjemah Arti) Paragraf di atas merupakan Surat Ar-Rahman Ayat 26 dengan text arab, latin dan artinya. KULLU MAN ALAIHA FAAN’ “Whatsoever is on it the Earth will perish” Time, since the existence of human beings, has been witnessing uncountable lives taking births and dying, traditions and civilizations coming into existence and vanishing from the surface of earth, and nations and powers rising and waning. Everything in this universe is changing. Philosophies, theories and laws have been changing, but nothing remains forever. Every creature and everything; living or non-living, on this earth has born to die or vanish one day. God says in chapter 55, Surah Ar-Rahman, verse 26, “Whatsoever is on it the Earth will perish”. In this verse, a truth has been revealed to human beings that nobody in this universe is immortal and nor the provisions that human beings are enjoying in the World is everlasting. However proud a person can be, but his haughtiness will perish as he is a mere an insignificant being when compared to the Universe. And whatever human set up as deities or their helpers apart from Allah SWT, they will be of no use to him. As they themselves are in need of Allah’s help. Whatever is happening in this Universe occurs under the command of one God alone. No one can therefore influence anyone else’s destiny in any way. Before the final trumpet will be blown there are signs which Allah SWT will manifest in this world. I think the beginning of the end of the world has already begun. The first thing which comes to my mind is the deadly Corona Virus. Has it not made us all prisoners in our own homes? Millions have perished in the last year and half of this deadly pandemic. The virus is smartly mutating to more complicated varieties. Loss of lives, employment and freedom has touched the lives of millions of common people in all corners of the globe. All of this show that Allah SWT is sending us a strong message to turn to him in repentance and prayer. A message very clearly spelt out for mankind in his book, the holy Quran. This current pandemic has made people realize the transitory nature of our lives, our wealth, our children and all things that we crave for in this world. Other natural disasters which have become frequent and severe is surely a sign of the end which is near. It is my firm belief that Allah SWT is giving us an opportunity to correct ourselves and start working in earnest for our Akhirah. We as humans need to look around and realize that the signs are manifest all around our daily lives. The most obvious of signs is the fleeting of Time itself. It is very common to hear people talk about the speed with which “Time” is passing by. Years seems to be rolling over in matter of weeks. Men of understanding have started to recognize these signs as the day of the end of the Earth is nearing. The world can end at any time by a simple earthquake, a meteor strike, a nuclear war and some other man-made or natural disaster. Global warming is causing loss of glaciers, accelerated sea-level rise and more intense heat waves. Because of shortening monsoons, disappearing forests, and devastating state of agriculture, the world is already going through a crisis in food. Drying rivers, decreasing water table and reducing water reservoirs are causing shortage of drinking water. These have led to tougher living conditions for the human sapiens and animal life. Scientists have warned of harmful effects of climate change but common man doesn’t bother much and go on heedless about these facts. Therefore, nature will play its role and destruction is sure to come by the Will of Allah SWT. In Surah At-Takwir 8101-03, it is said that the sun will be folded up, which means that its light will be lost. In the second Ayaat, Allah SWT informs us that the stars and the planets will scatter in the Universe as the gravitational and kinetic and potential forces which hold them in their positions will disappear. The mountains will scatter like clouds. Thus, the horrors of “the final day”, Yaum-al-Qiyamah or the Day of Judgement, has been firmly described by Allah SWT. We human beings have become heedless and don’t want to believe these predictions, instead we are very much attracted to our worldly lives. In fact, besides knowing the fact ”every moment, when it has passed, becomes past, and every moment of the future, when it is passing, becomes present, and when it has passed, becomes past” and also that nobody has born to stay forever on this earth, we don’t want to think that we will leave all of these, someday. Similarly in Surah Al-Inshiqaq 841-2, the book of Allah SWT describes the day of Qiyamah as a time when the Heavens will split asunder, the Earth will be spread out plain and smooth and all that is buried on Earth will be taken out. Further, in Surah Taha 20 106-107, it is mentioned that the Earth will be turned into an empty level plain. In the end, I would like to conclude that we should accept the fact that everything in this universe will perish one day except the Almighty Allah, our creator. The creator has created human beings, in this vast universe for a limited period of few years to worship Him. Hence, we have to know our creator, we have to follow the true path shown by Him and absorb truth and justice in our lives and recommend others to follow the same. We have to get prepared for standing in front of our creator on the day of judgement and accountability. When everything will be destroyed, only our faith in Allah and good deeds will come for our rescue and save us from Hell. Entering into heaven hereafter is real triumph and the Ultimate Success. – MEHTAB SULTANA ALAM ajUQ0u. 127 359 71 325 140 320 93 320 299

arti kullu man alaiha fan